1) Periode Sebelum 1984
Jual-beli properti tidak dipungut pajak penghasilan secara langsung. Transaksi di pasar primer maupun sekunder.
2) Periode 1984 s/d 1994
Transaksi jual-beli properti di pasar sekunder, penjual wajib membayar pajak penghasilan (PPh), bila mendapat keuntungan. Kewajiban pajaknya dibayar dan dilaporkan dalam SPT tahunan.
Perhitungan pajaknya progresif tergantung besarnya keuntungan (tarif ps 17). Keuntungan adalah selisih harga jual dengan harga beli dikali dengan angka konversi. Angka konversi ditemukan oleh pihak pajak untuk menghilangkan pengaruh inflasi.
Kewajiban pajak tersebut banyak diabaikan oleh penjual properti. Banyak penjual bukan atau belum menjadi wajib pajak. Tidak memiliki NPWP. Penentuan harga jual beli juga tidak ada standart, sehingga mudah dimanipulasi.
3) Periode 1 April 1994 s/d 1998
Penjual properti dipasar sekunder dikenakan PPh final secara langsung. Transaksi jual-beli yang dilakukan dihadapan PPAT dapat dilakukan setelah PPh disetor. PPh yang disetor sebesar 5% dari harga transaksi. Dengan catatan PPh minimum 5% dari NJOP (dalam SPT PBB).
Investor properti tidak melakukan AJB atas pembelian properti. Biasanya dibuat Ikatan Jual-beli dan kuasa. Penjual menyerahkan PPhnya pada pembeli. PPh disetor pada saat properti dijual kembali kepada pemakai (end user).
Dalam pasar primer, investor membeli dari developer dengan cara angsuran (pembayaran bertahap). Perjanjian yang dilakukan berupa SPJB (Surat Pengikatan Jual Beli). Investor yang menjual kembali propertinya cukup membatalkan SPJB dengan pengembang. Dalam transaksi tersebut belum ada pembayaran pajak dari investor (sebagai penjual) dan pembelinya.
4) Periode 1 Juli 1998 s/d 2008
Mulai 1 Juli 1998, penjual dan pembeli dikenakan pajak, PPh final untuk penjual dan BPHTB untuk pembeli. Nilainya sama 5%. Bagi pembeli diberikan potongan pajak yang nilainya berbeda setiap daerah. Contohnya untuk Surabaya adalah 2 Juta Rupiah
.
5) Periode 2006 s/d 2008
Transaksi di pasar sekunder, untuk membayar pajak (PPh) bagi penjual maupun BPHTB bagi pembeli diwajibkan mencantumkan NPWP.
Investor properti mulai merasa tidak nyaman karena dianggap sebagai monitoring terhadap penghasilan dan aset yang dimilikinya.
Sementara untuk investor dipasar primer pengalihan SPJB tetap bisa dilakukan tanpa terkait dengan kewajiban pajak.
6) Periode 2008
Tahun 2008 pemerintah memberikan kesempatan pada pemilik properti melakukan pendaftaran aset-asetnya melalui Sunset Policy. Harapannya, semua transaksi properti akan menjadi transparan antara penjual, pembeli dan pihak pajak. Kewajiban pajak akan termonitor dengan baik. Keterkaitan antara penghasilan dan transaksi pembelian dan penjualan properti juga terungkap.
7) Periode Tahun 2009 dan seterusnya
Transaksi properti dipasar sekunder mulai terjadi pembatasan. Pemilik yang masih memegang pengikatan jual beli notaris tidak bisa mengalihkan propertinya ke pihak lain. Akta jual-beli hanya bisa dilakukan kepada pemilik sendiri berdasar pengikatan jual beli dan kuasa. Pajak yang harus dibayar adalah PPh atas nama penjual (yang namanya ada di sertifikat) dan BPHTB atas nama pemegang pengikatan dan kuasa.
Aturan ini memberatkan investor properti karena mengurangi keuntungannya sekitar 10%. Akibatnya, investasi properti dipasar sekunder akan menurun. Harga properti dipasar sekunder juga akan mengalami stagnasi.
Untuk investor di pasar primer yang memilki SPJB, keadaannya tidak lebih baik. Investor properti dengan SPJB yang diperoleh sebelum 2009 bila akan mengalihkan atau menjual propertinya harus menunggu pengembang mendapatkan SKB (Surat Keterangan Bebas pajak).
Investor properti dengan SPJB bila mengalihkan SPJBnya tahun 2009 akan menghadapi pemeriksaan pajak bila SPJBnya belum tercantum dalam daftar aset dalam SPT. PPh atas pengalihan SPJBnya juga akan ditagih.
Lebih buruk lagi, bila atas pengalihan SPJB investor ditagih BPHTB (sebagai pembeli dari pengembang) dan PPh (sebagai penjual). Hal ini sangat memberatkan investor properti. Pengembang diharapkan membantu mencarikan solusi. Minta penjelasan dari pihak pajak dan mengusulkan ke pihak pajak untuk menghapus penerapan pajak yang merugikan investor.
Pemerintah dalam hal ini Dirjen Pajak perlu mempertimbangkan peran investor properti dalam perkembangan bisnis properti dan bisnis yang terkait. Pertumbuhan bisnis properti adalah motor pengerak pertumbuhan ekonomi. Investor properti adalah penggerak perkembangan bisnis properti.
Yafet Kristanto
ERA Indonesia
ERA Indonesia